-->

Shinta: Cinta Tak Bisa Dibeli, Tapi Aku Bisa



Shinta, si bungsu dari empat bersaudara, tumbuh di sebuah desa kecil yang tenang, dikelilingi sawah dan jalanan berdebu. Tempat suara adzan lebih sering terdengar daripada deru kendaraan. Hidupnya sederhana pagi menyapu halaman, siang membantu ibunya menjemur pakaian. Wajahnya manis, tutur katanya lembut, dan senyumannya selalu membawa kehangatan bagi siapa saja yang mengenalnya. 

Sejak remaja, ia jatuh cinta bukan sekadar cinta biasa, tapi cinta yang ia agungkan sepenuh hati, seolah lelaki itu adalah takdirnya. Bertahun-tahun Shinta setia pada hubungan itu, menggantungkan harapan pada seseorang yang akhirnya merobek hatinya. Hubungan mereka kandas karena kehadiran orang ketiga. Namun, luka itu tak berhenti di hati. Tak hanya kehilangan cinta, Shinta juga kehilangan kendali atas nama baiknya. 

Pria itu menyebarkan data pribadinya ke situs-situs gelap, foto dan video yang tak pernah ia izinkan menyebar, beredar liar. Wajahnya menjadi bahan bisik-bisik teman sebayanya, jadi bahan tertawaan, bahkan bahan "koleksi" laki-laki di desa. Tak ada ruang untuk menjelaskan. Tak ada tempat aman untuk bersembunyi baginya. 

Shinta merasa buntu. Desa sekecil itu tak memberi ruang untuk memperbaiki nama-nya. Ia tak punya siapa-siapa di kota. Tapi ia tahu, satu-satunya jalan keluar hanyalah keluar.
Dengan tangan gemetar, ia mencoba sebuah aplikasi pinjaman online. Dalam beberapa menit, uang cair ke rekeningnya. Jumlah yang kecil, tapi cukup untuk tiket bus, dan sedikit keberanian. Ia tiba di Jakarta saat matahari terbenam. Terminal ramai, tapi hatinya sepi. Tak ada siapa pun yang ia kenal. Tak ada tempat untuk dituju.

Ia duduk di bangku panjang, mengapit tas kecil berisi sisa hidupnya. Ponsel terus bergetar entah notifikasi apa, ia tak ingin lihat. Lalu, seorang lelaki menghampiri. Sekilas seperti orang biasa: kaus oblong, celana jeans, dan wajah yang tak menyimpan niat apa-apa.

"Baru sampe, ya?" tanyanya ramah.
"Iya..." jawab Shinta singkat, gugup.
"Sendirian, Mbak? Mau ke mana?"

Shinta ragu, tapi akhirnya menjawab jujur.

"Saya… belum tahu. Baru datang."

Lelaki itu tersenyum kecil, lalu duduk di sampingnya.

"Kalau butuh tempat istirahat, gue tau tempat kosan murah. Gak mewah sih, tapi aman. Banyak yang baru dateng ke Jakarta juga tinggal di sana." Shinta tak menjawab. 

Tapi lelaki itu menyodorkan selembar kertas sobekan dengan tulisan tangan dan nomor ponsel.

"Namanya Pak Nurdin. Bilang aja direkomendasiin Rizal dari terminal."

Malam itu, dengan sisa tenaganya, Shinta mengikuti petunjuk ke kosan yang disebut. Di sanalah tubuhnya akhirnya rebah. Di kasur tipis beralas sprei kusam, ia menangis untuk pertama kalinya sejak melarikan diri. Jakarta begitu asing. Tapi lebih baik daripada rasa malu yang setiap hari menelannya hidup-hidup di kampung. 
Ia berpikir, mungkin di kota ini, ia bisa mulai dari nol. Tapi Jakarta tak pernah benar-benar memberi ruang untuk "nol". Di kota ini, semua harga harus dibayar. Dengan uang. Atau luka.

Di situlah awal Shinta mencoba bertahan hidup. Ia mengambil pekerjaan serabutan, jadi penjaga warung, bantu bersih-bersih kontrakan, apa saja yang bisa menghasilkan uang. Tak peduli capek atau kotor, yang penting bisa makan, bisa tidur, bisa bernapas.
Namun hidup tak pernah mudah bagi perempuan yang namanya sudah tercemar. Di tengah tekanan ekonomi dan luka batin yang tak kunjung sembuh, Shinta mulai mengenal sisi gelap kota. Ia mendengar cerita dari teman kosnya tentang "jalan pintas" pekerjaan malam yang menjanjikan uang cepat.

Awalnya, Shinta hanya mendengar. Lalu melihat. Lalu perlahan… mulai mempertimbangkan.
Dan di situlah titik awal semuanya berubah.

Luka yang Tak Tampak

Malam tak lagi terasa sunyi bagi Shinta. Sejak namanya berserakan di ruang-ruang gelap internet, sejak wajahnya atau potongan dari wajahnya muncul di situs-situs yang bahkan tak pernah ia kunjungi, hidupnya berubah menjadi labirin tanpa ujung. Ia bukan lagi gadis bungsu yang dikenal tetangga karena senyum tulusnya. Kini, ia hanya sebutan. Objek. Komoditas yang diperjualbelikan tanpa izin.

Sejak itu, pesan-pesan tak senonoh mulai membanjiri ponselnya, DM yang tak ia kenal, kalimat singkat tapi menusuk:

"Open BO kah, sayang?"

Ia tak pernah membalas, tapi pikiranya terusik. Kalimat-kalimat itu melekat seperti kabut yang susah hilang.

Suatu sore yang gerimis, Shinta duduk sendirian di warung kopi kecil, menunggu pembayaran yang tertunda. Di bangku sebelah, dua perempuan berbaju necis sedang tertawa sambil memainkan ponsel. Salah satu dari mereka menatap Shinta lalu bergumam:

"Dia cakep juga. Kalo mau open BO, sehari bisa dapet sejuta."

Shinta pura-pura tak dengar, tapi jantungnya berdebar. Kata-kata itu sederhana, tajam, dan menohok langsung ke batinnya yang sedang rapuh.
Malam harinya, ia membuka akun Instagram-nya yang sudah lama tak tersentuh. Di folder "Permintaan Pesan", ada puluhan DM dari akun tak dikenal. Banyak yang hanya mengirim emoji, beberapa mengirim tarif. Tapi satu pesan membuat tangannya gemetar:

"Lihat fotomu di forum. 1.5 juta semalam. Lokasi bisa flexible. Aman. Aku sopan kok. Transfer duluan juga bisa kalau kamu ragu."

Dia membaca ulang pesan itu. Lagi. Dan lagi. Lalu tanpa sadar, tangannya menulis:

"Kamu lihat fotoku dari mana?"
Dan begitulah pintu itu terbuka.

Beberapa pesan kemudian, Shinta tahu kalau wajahnya telah dijual lewat akun forum dewasa. Bukan hanya itu, tapi juga nama, usia, lokasi, bahkan tarif palsu. Orang-orang percaya dia memang menawarkan dirinya.

Dan kini, ia dihargai.
1,5 juta. Semalam.

Jumlah yang tak pernah ia lihat sekaligus, bahkan setelah bekerja dua minggu penuh sebagai buruh harian. Tiba-tiba dunia yang selama ini menghukumnya, mulai merayunya.

Hari-hari berikutnya jadi semakin berat. Bukan karena hinaan, tapi karena tawaran. Karena setiap pesan yang masuk mengajaknya bicara soal harga. Soal lokasi. Soal waktu.

Dan Shinta mulai berpikir...
"Mereka sudah menilaimu seperti itu... kenapa tidak sekalian?"

Tapi setiap kali ia hendak mengetikkan kata "ya", ada sesuatu dalam dirinya yang mengerem. Entah itu bayangan ibunya, suara tawa kaka dan temanya, atau potongan dirinya sendiri yang dulu masih polos, memegang buku catatan penuh gambar bunga dan cita-cita.

"Kalau dunia memaksa aku menjadi sesuatu yang tidak aku inginkan... apa aku masih pantas menyebut ini sebagai hidupku?"

Malam-malam di kosan kecil itu perlahan membuka tabir kehidupan baru yang belum pernah Shinta bayangkan. Ia sering mendengar suara langkah kaki berat lelaki di lorong sempit, suara pintu dibuka dari kamar sebelah, lalu tawa-tawa lirih yang menghilang menjelang subuh.

Teman sekos-nya, Sari, kerap pulang dengan penampilan mencolok, lipstik merah menyala, dan uang recehan berceceran di tasnya.
Shinta yang polos hanya mengamati dengan bingung. Ia memperhatikan bagaimana lelaki-lelaki berbeda datang dan pergi dari kamar Sari hampir setiap malam.

Hingga pada suatu sore, saat mereka sedang makan mie rebus berdua di dapur kos, Shinta memberanikan diri bertanya.

"Sar... maaf ya, aku nanya... tapi kenapa cowok kamu kok gonta-ganti terus?"

Sari nyaris tersedak. Ia menatap Shinta dengan senyum geli tapi penuh pengertian.

"Cowok? Duh, Shin... mereka bukan pacar."
"Lho? Terus siapa?" Shinta mengerutkan dahi.
"Tamu, klien. Aku kerja, sayang. Gitu, deh."

Shinta masih belum menangkap maksudnya sepenuhnya. 

"Kerja? Maksudnya... kayak kerjaan di luar?"

Sari tertawa kecil, lalu menepuk pelan bahu Shinta.

"Kamu lucu banget. Enggak, bukan kerja kantoran. Tapi kerja yang bisa bikin kamu dapet sejuta cuma dalam dua jam. Enggak perlu bersihin rumah orang, enggak perlu berdiri di warung sampai malam."

Shinta terdiam. Ada rasa bingung, takut, tapi juga... penasaran.

Beberapa hari kemudian, saat uang hasil kerja kasarnya tinggal recehan, dan tagihan pinjol kembali menagih lewat pesan mengancam, pikiran itu kembali muncul. Ia mulai memperhatikan lebih detil gaya hidup teman-teman kosnya. Banyak dari mereka yang bisa berganti baju bagus, punya parfum mahal, dan makan enak, sementara Shinta harus menakar beras dan menunggu promo mie instan di warung.

Malam itu, Sari baru saja pulang. Make-up-nya sedikit luntur, tapi senyumnya lebar.

"Capek banget, tapi lumayan lah. Sekali jalan bisa nutup sewa kos dua bulan," katanya sambil membuka heels dan mengganti baju santai.

Shinta hanya bisa memandangi dari sudut ranjangnya. Sari seolah membaca pikirannya.

"Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja ya. Tapi ingat, jangan asal terima tamu. Ada aturannya."

Awalnya, Shinta menolak. Ia masih menganggap itu dunia kotor. Tapi malam demi malam, ketika lapar datang tanpa solusi dan utang terus menghimpit, pikirannya mulai berubah. Ia mulai membuka grup-grup yang direkomendasikan Sari, melihat-lihat iklan yang dipasang para gadis dengan nama samaran dan foto-foto menggoda.

Dengan tangan gemetar, ia mencoba pasang iklan. Hanya ingin tahu, katanya. Tapi pesan mulai berdatangan.
Dan pada suatu malam yang sunyi, saat lampu gang mulai redup dan suara jangkrik terdengar nyaring, Shinta keluar dari kosan bukan untuk kerja kasar. Ia naik ojek ke sebuah hotel kecil. Di tangannya ada ponsel dengan percakapan singkat dari seorang pria yang baru ia kenal lewat aplikasi.

Pintu kamar dibuka. Seorang pria paruh baya berdiri di sana, senyumnya canggung, tapi matanya menyapu Shinta dari atas ke bawah. Tubuh Shinta terasa beku, tapi ia tetap melangkah masuk.
Malam itu, nama "Shinta" mulai terkubur oleh nama samaran. Dan cahaya terakhir di dalam dirinya mulai meredup.

Malam itu menjadi titik yang menandai pergeseran hidup Shinta. Ia mulai perlahan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan kasarnya tidak lagi bangun subuh untuk bersih-bersih rumah orang, tidak lagi menjaga warung dengan bayaran harian yang tak cukup untuk membeli makan malam. Di benaknya, dunia malam menawarkan "kecepatan". Satu malam bisa menyamai sebulan kerja di warung.

Beberapa hari setelah pertemuan pertamanya, Shinta mulai aktif. Ia belajar banyak dari Sari cara memotret diri dengan angle yang menggoda namun “aman”, kata-kata kode yang harus dipakai saat chat dengan tamu, hingga cara mengenali mana tamu yang serius dan mana yang hanya ingin merendahkan.

Dari luar, hidupnya tampak “naik kelas”. Ia bisa membeli sabun mandi mahal yang dulu cuma ia lihat di iklan TV. Bisa makan ayam goreng tanpa menunggu hari lebaran. Bahkan, bisa mentraktir teman kosnya mie instan dua bungkus tanpa takut kehabisan uang esok hari.

Matahari mulai terbenam, digantikan oleh sinar rembulan. Shinta masih terdiam di sebuah kamar kecil dalam gang, menanti secercah harapan yang tak kunjung tiba. Seperti lirik lagu Iwan Fals, "habis berbatang-batang tuan belum datang." Hingga pada akhirnya, suara langkah kaki pecah keheningan malam. 
Satu per satu, mereka (pria) tiba, dalam cahaya samar, diatas ranjang tanpa kain, di dalam ruangan yang penuh dengan aura ketegangan, Shinta memenuhi setiap kebutuhan mereka, menghisap, menjilat itu sudah keahlianya. 

Malam itu, suasana gelap malam terhampar di langit, ditemani oleh bulan yang menggantung tinggi, menghadirkan aura magis di sekitar. Di dalam kamar kost sempit, seperti panggung yang gelap, Shinta beraksi. Deretan pria berbagai usia dan latar belakang mengalir masuk dan keluar, menciptakan suatu pertunjukan yang tak pernah selesai. Mereka adalah pemain dalam drama gelap yang Shinta mainkan setiap malam, dan dia, dengan kepiawaiannya yang luar biasa, tampil sebagai pemeran utama yang memenuhi panggilan panggungnya dengan penuh dedikasi. Dari remaja penuh gairah hingga lelaki dewasa yang merindukan sentuhan hangat. 

Shinta, dengan keahliannya ia mulai menari di atas ranjang, memanfaatkan setiap gerakan untuk memikat dan mengendalikan situasi. Pria itu mengamati dengan teliti, matanya tak lepas dari setiap detail. Shinta merasakan adrenalin yang berbeda, dorongan untuk membuktikan dirinya lebih dari sekadar pemuas nafsu. Setiap sentuhan, setiap gerakan, penuh dengan intensitas. Shinta memperlihatkan setiap triknya, dari sentuhan lembut hingga rangsangan mendalam, mengombinasikan teknik yang membuat pria itu terperangah. Ranjang tanpa alas menjadi panggung bagi pertunjukan yang memukau, di mana Shinta adalah bintangnya. 

Setiap malam, Shinta semakin terbenam dalam perannya. Obsesi ini mulai mengaburkan batas antara pekerjaan dan dirinya sendiri. Shinta tidak lagi bisa membedakan kapan ia bermain peran dan kapan ia menjadi dirinya yang sebenarnya.

Siang hari menjadi mimpi buruk yang panjang, waktu yang harus ia lalui dengan gelisah, menunggu malam tiba. Matahari yang dulu memberi harapan kini terasa menyiksa. Ia hidup hanya untuk malam, hanya untuk permainan yang memberinya rasa hidup. Dunia malam telah menjadi segalanya bagi Shinta tempat di mana ia merasa paling hidup, paling diinginkan, dan paling kuat.

Namun dunia malam tidak selalu berjalan seperti yang dibayangkan. Ada malam-malam kosong. Malam-malam sepi.
Suatu malam, Shinta berdandan sejak magrib. Lipstik dipoles, rambut disisir rapi, parfum disemprot tipis di pergelangan tangan. Ia mematut diri di cermin kecil yang menempel di dinding kamarnya. Senyum palsu ia latih berkali-kali. Di ponselnya, ia pasang iklan baru dengan foto dan keterangan singkat: "manis, bersih, dan bisa diajak ngobrol."

Satu jam berlalu.
Tak ada chat masuk.
Dua jam berlalu.

Ia menggeser layar ponsel, membuka dan menutup aplikasi berulang kali, berharap ada notifikasi muncul. Namun layar tetap sepi, hanya menyisakan cahaya biru yang menyilaukan mata.

Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Shinta masih duduk di pinggir ranjang, kini sudah mengganti pakaian menjadi daster lusuh. Di luar, suara motor mulai jarang terdengar. Malam makin sunyi. Perasaan gelisah mulai muncul.

"Apa aku kurang cantik?"
"Apa hargaku terlalu mahal?"

Pertanyaan demi pertanyaan menyesakkan dada. Ia baru sadar, dunia yang baru ini bukanlah tempat yang adil. Sekali dicicipi, ia seperti candu namun pasar di dalamnya kejam, cepat bosan, dan penuh persaingan.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia terjun ke dunia itu, Shinta menangis bukan karena lapar… tapi karena merasa tak diinginkan.
Ia mencoba tidur, tapi pikirannya tak tenang. Mungkin besok akan lebih baik, pikirnya. Tapi jauh di lubuk hatinya, sebuah suara kecil mulai berbisik:

"Kau telah kehilangan sesuatu yang tidak bisa dibeli kembali, harga dirimu sendiri."

Namun Shinta menepisnya. Ia menatap layar ponsel satu kali lagi sebelum memejamkan mata, berharap esok ada yang mengetuk pintunya bukan untuk menolong, tapi untuk membeli waktunya.

Dan dari situlah, kegelisahan yang sebenarnya baru saja dimulai. 

CAPTER 2 : Pengakuan dan Kematian Rasa

Shinta mulai terbiasa dengan malam yang tak lagi sunyi. Jam hidupnya kini terbalik: pagi untuk tidur, malam untuk mencari nafkah dari tubuh sendiri. Ia sudah meninggalkan pekerjaan lamanya. Kini, dirinya sepenuhnya terikat pada dunia yang semula ia masuki dengan keraguan.
Suatu malam, ketika baru selesai mandi dan sedang duduk menyisir rambut di depan cermin kecil, ponselnya bergetar.

"Ibu"

Shinta terdiam beberapa detik. Nama itu, meski hanya tiga huruf di layar, mampu membuat dadanya sesak. Tangannya sempat ragu, tapi akhirnya membuka pesan WhatsApp:

"Nak, kabarmu gimana? Ibu gak enak hati. Kenapa sekarang susah dihubungi?"

Ada jeda panjang sebelum Shinta membalas.

"Maaf Bu, kerjaan lagi padat. Tapi aku baik-baik aja. Aku sekarang udah kerja di Jakarta, di kantor kecil gitu..."

Ia tekan "kirim", lalu cepat-cepat mematikan layar. Ia tidak sanggup menatap kebohongannya sendiri terlalu lama. Tapi setelah itu, ia kirim uang ke rekening ibunya jumlah yang cukup besar.
Beberapa jam kemudian, ibunya membalas.

"Nak, kamu beneran kerja kantoran? Kok bisa kirim uang segini banyak? Jangan nyusahin dirimu ya…"

Shinta menjawab dengan tenang. 

"Tenang aja, Bu… Aku baik. Malah sekarang bisa bantu-bantu rumah juga, kan?"

Kebohongan itu terasa seperti duri. Tapi Shinta tetap berkata lembut, tetap memberi tawa kecil di ujung kalimat. Karena jika ia jujur… ia tahu ibunya bisa patah.
Tiap malam, tamu datang silih berganti. Dan dari mereka, Shinta belajar satu hal: setiap lelaki membawa dunia dan lukanya masing-masing.

Ada pria pemarah.
Seorang pria muda, wajahnya rapi, wangi parfumnya mahal. Tapi mulutnya seperti pisau.

“Kamu telat lima menit,” katanya tajam, meski Shinta hanya terlambat karena lift rusak.
“Maaf, tadi...”
“Jangan alasan. Kalau aku bayar, kamu harus tepat.”

Shinta hanya menunduk. Ia tahu, membantah hanya akan memperpanjang malam.


Ada pria rapuh yang hanya ingin ditemani.
Bapak-bapak usia 40-an, datang sambil membawa dua botol bir. Ia hanya ingin duduk, mendengarkan lagu, dan bercerita soal anaknya.

“Kamu masih muda… jangan jadi seperti aku,” katanya sambil menatap jauh ke jendela hotel.
“Kenapa, Pak?”
“Karena nanti, kamu akan tahu rasanya ditinggalkan semua orang…”

Ia tak menyentuh Shinta sama sekali. Hanya ingin pelukan, hanya ingin merasa tak sendiri.


Ada pria sok romantis.

Penuh kata-kata manis, tapi sentuhannya menjijikkan.

"Malam ini, biar aku jadi yang menyembuhkan ya?"
"Aku tak perlu disembuhkan," jawab Shinta pelan, meski tetap membiarkan semuanya terjadi.

Dan malam itu, datanglah tamu yang berbeda: seorang pria kasar. Langkahnya berat, pintu dibanting saat masuk. Tak ada senyum, tak ada basa-basi.
Ia langsung melemparkan uang ke atas kasur, lalu mencengkeram lengan Shinta kuat-kuat.

"Gue gak suka basa-basi. Cepet buka baju lo"
"Tapi... bisa pelan-pelan dulu?"
"Lama banget, dasar cewek kampung!"

gumamnya sembari menarik rambut Shinta ke belakang.

Shinta menggigit bibirnya. Rasa takut merambat di tubuhnya. Tapi ia tahu, kalau melawan bisa lebih buruk.
Ia mencoba tenang, menarik napas, dan berkata lembut,

"Mas, kalau keras-keras aku bisa luka..."
"Luka? Biarin. Gue udah bayar!"

Ia bahkan tak melepas sepatunya saat naik ke ranjang. Sisa tanah becek dari solnya mengotori seprai. Shinta menatap langit-langit kamar hotel yang kusam, sambil menahan perih di dadanya bukan karena sentuhan, tapi karena rasa yang tak lagi ada. Setelah selesai, pria itu memakai jaket dan keluar begitu saja. Tak ada kata, tak ada pamit. Hanya suara pintu yang dibanting sekali lagi.
Setelah itu, Shinta diam lama. Ia mengambil tisu, keluar kamar kos, duduk sendirian di sebuah bangku taman setelah “bekerja”, Shinta menatap langit gelap.

"Bu… kalau ibu tahu, ibu pasti kecewa banget sama aku."

Tapi pesan itu tak pernah dikirim. Ia hanya menyimpannya dalam hati lalu menangis pelan-pelan.
Ia baru sadar: bukan tubuhnya yang lelah, tapi hatinya yang mulai rusak perlahan.

Beberapa hari kemudian, saat baru bangun siang, ia membuka ponsel dan melihat deretan notifikasi WhatsApp. Grup keluarga. Grup sekolah lama. Grup RT kampung.

Semua heboh.

"Itu Shinta ya?"
"Astaghfirullah, kok bisa sampai kayak gini?"
"Ini beneran anaknya Bu Rumi?"

Tubuhnya mendadak dingin. Video lama itu yang tersebar waktu pacarnya dulu menyebarkan aib ternyata muncul lagi. Kini viral, disebar di TikTok dan X. Ada yang men-stitch dengan wajah blur, tapi beberapa sudah tahu itu dia.
Dan yang lebih menghantam: status ibunya di Facebook.

"Maaf, Bu Rumi. Saya cuma mau tanya, itu Shinta anak ibu ya? Saya gak percaya, semoga bukan…"

Komentar itu disukai puluhan orang. Dan belum dihapus.

Detak jantung Shinta berpacu. Tangannya gemetar. Ia coba menelpon ibunya ditolak. Ditelepon lagi masuk, tapi tidak dijawab.
Pesan WA terakhir dari ibunya:

"Shinta… kamu dimana?"
"Bilang jujur sama ibu."

Air mata Shinta kembali jatuh. Tapi kali ini bukan karena tamu kasar, bukan karena kesepian, tapi karena luka lama yang akhirnya sampai juga ke rumah. Tak ada tempat aman lagi. Bahkan satu kampung pun sudah tahu.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama…
Shinta merasa benar-benar sendiri.

Shinta pun bergegas dan mengambil ponsel nya, membuka whatsapp dan mengetik pelan-pelan

"Bu, maafin Shinta..."
"Shinta kabur ke Jakarta karena video dan foto itu."
"Shinta malu, Shinta ngerasa gak punya harga diri lagi di kampung."
"Shinta gak kuat denger orang-orang ngomongin Shinta tiap hari..."

Lalu ia berhenti. Napasnya sesak. Ia tekan tombol kirim.
Hening. Beberapa menit kemudian, hanya dua centang. Belum dibaca.
Namun tak ada rasa lega. Tak ada beban yang lepas. Yang tersisa hanya ruang kosong di dadanya. Hampa.


Bukan Lagi Gadis Desa

Dan keesokan malamnya Shinta berdiri di depan cermin. Lipstik merah darah, eyeshadow gelap, high heels mengkilap. Kali ini ia tak mengenakan pakaian seadanya ia tampil seperti wanita panggilan kelas atas.
Parfum mahal. Rambut di-roll. Baju dengan belahan tajam. Ia belajar semuanya dari teman-teman kos dan beberapa tamu langganan.

Dari anak desa lugu… kini menjadi wanita malam yang mengerti bagaimana caranya menjual ilusi.
Malam berganti malam, teknik pun bertambah. Shinta mulai mempelajari segalanya. Ia tahu bagaimana bicara dengan tamu tua kaya, bagaimana membuat pria muda tergila-gila, bagaimana memasang harga tergantung gestur dan jenis mobil yang menjemput.

"Kamu beda ya dari yang lain," kata seorang tamu yang membawa Shinta ke hotel bintang lima.

"Karena aku ngerti kamu maunya apa," jawab Shinta sambil menahan tatapan dingin tapi menggoda. 

Tamu Kasar Bukan Lagi Trauma

Suatu malam, tamu mabuk memaksanya kasar, menarik rambutnya, melempar uang sembarangan di ranjang.

Dulu Shinta mungkin akan menangis. Tapi kini?
Ia menatap lelaki itu seperti predator menatap mangsa.

"Lu mau main kasar? Lu pikir gua murah? Tambah sejuta, sekarang juga, atau lu gue keluarin telanjang dari sini."

Suara Shinta tegas, tajam. Pria itu bengong. Takut.
Ia tak menangis lagi. Ia mengontrol permainan.

Gairah Mati, Insting Hidup

Ada malam-malam di mana tubuhnya terasa bukan miliknya lagi. Tapi otaknya tetap tajam.

"Gue bukan cuma jual tubuh. Gue belajar dari tiap cowok."
"Cara mereka pegang dompet. Cara mereka ngelirik. Cara mereka tipu bini mereka."
"Gue jadi tahu dunia ini busuk, tapi sekarang gue main di dalamnya. Dengan aturan gue sendiri."

Beberapa hari kemudian, pesan dari orang yang tak dikenal masuk ke ponselnya:

"Cantik juga sekarang. Udah mahal, ya?"
"Dari kampung ke ranjang. Gak nyangka kamu sejauh ini."

Jantung Shinta mencelos.
Napasnya tertahan.

"Siapa lu?" balasnya cepat.
Tak ada jawaban. Tapi profil WA si pengirim bergambar peta kampungnya sendiri.

Lift terbuka.

Di depannya, tamu kaya sedang menunggu dengan wine mahal dan dompet tebal.
Shinta tersenyum.

"Maaf, nunggu lama ya. Yuk, kita naik ke atas."

Tapi Shinta tak sadar malam itu bukan sekadar tamu biasa, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih dalam… dan lebih gelap.

to be continue