Siklus Klise: Ngegas Dulu, Klarifikasi Belakangan
![]() |
https://id.pinterest.com/pin/558516791309585605/ |
Lucu, tapi juga tragis. Banyak orang sekarang naik daun bukan karena karya yang benar-benar membekas, tapi karena sorotan kamera yang tak henti menempel. Dari sorotan itu lahirlah panggung, panggung melahirkan kebiasaan, dan kebiasaan berubah jadi candu. Dari candu itulah muncul satu penyakit: merasa paling benar.
Naik Followers, Naik Ego
Fenomena ini sering banget gue lihat: begitu jumlah pengikut naik, suara mereka ikut meninggi. Argumennya makin keras, gaya bicaranya makin kaku. Kritik? Jangan coba-coba. Apalagi kalau datang dari orang yang dianggap "di bawah." Responnya langsung seperti meludah, seolah-olah suara orang biasa tidak pantas didengar.
Padahal ironinya, panggung yang mereka injak sekarang berdiri di atas penonton yang mereka anggap "rendahan" itu juga. Tanpa orang-orang ini, siapa yang peduli? Tanpa mereka, siapa yang mau dengar? Tapi semakin tinggi, ternyata telinga semakin tipis.
Tidak Semua Sama, Tapi Fenomenanya Nyata
Tentu, nggak semua orang yang berada di sorotan bersikap begini. Ada yang tetap membumi, tetap membuka telinga, bahkan tumbuh justru karena kritik. Tapi fenomena yang satu ini terlalu sering terjadi hingga terasa klise: semakin tinggi, semakin kebal kritik.
Di titik inilah kesombongan muncul. Kritik yang seharusnya jadi vitamin, dianggap racun. Padahal yang pahit justru kadang adalah obat. Tapi ego itu aneh, lebih rela hidup di lingkaran tepuk tangan palsu ketimbang menelan satu kalimat jujur yang menusuk.
Fans Fanatik, Tameng Palsu
Yang bikin keadaan makin runyam adalah fans fanatik. Mereka jadi tameng tak terlihat, yang selalu siap membela mati-matian, meski langkah idolanya jelas keliru. Setiap kritik dianggap hinaan, setiap teguran dianggap serangan.
Ironisnya, orang yang sedang dipuja itu makin merasa benar, karena selalu ada barisan pasukan yang teriak, "Kamu nggak salah!" Bahkan ketika kesalahannya jelas di depan mata. Di titik ini, kritik bukan hanya ditolak oleh si tokoh, tapi juga ditenggelamkan oleh gelombang pembelaan buta.
Padahal, pembelaan tanpa logika itu justru mempercepat keruntuhan. Karena apa artinya punya ribuan pendukung, kalau yang dijaga hanyalah ego? njjaaayyy
Ruang Gema
Banyak dari mereka lebih nyaman berada di ruang gema (echo chamber), di mana setiap kata disambut pujian, setiap salah dibela habis-habisan. Namun kalau semua orang hanya berani mengangguk, lalu siapa yang akan mengingatkan ketika mereka salah langkah?
Siklus Video Klarifikasi
Dan akhirnya, pola itu selalu sama. Awalnya keras kepala, menolak, menyerang balik. Namun semakin lama, semakin terpojok. Hingga tibalah babak paling sering jadi tontonan publik: lahirlah video klarifikasi meminta maaf.
Wajah sendu, suara serak, embel-embel kalimat klasik: "saya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan." Ironisnya, permintaan maaf itu seringkali bukan lahir dari kesadaran, melainkan dari keterpaksaan. Karena nama baik dipertaruhkan, karena brand menjauh, atau karena trending sudah terlalu panas untuk diabaikan.
Inilah titik tragisnya. Mereka yang tumbuh besar karena orang lain, perlahan berubah jadi menara gading: tinggi, menjulang, tapi rapuh. Rapuh karena lupa bahwa semakin tinggi seseorang berdiri, semakin kencang pula angin kritik yang datang.
Dan kalau pondasinya hanya berdiri di atas pujian kosong, jangan kaget bila robohnya nanti justru ditertawakan ramai-ramai.
Dan yappp
Fenomena ini bukan semata tentang mereka yang ada di sorotan, tapi juga cermin buat kita semua. Bahwa semakin tinggi posisi kita entah di dunia nyata ataupun dunia maya semakin besar pula tanggung jawab untuk punya telinga yang tebal.
Pertanyaannya sederhana: kalau suatu hari giliran kita yang berada di panggung, masihkah kita cukup rendah hati untuk menelan kritik? Atau kita akan mengulang siklus yang sama? ngegas dulu, didukung fanatik membabi buta, lalu akhirnya bikin klarifikasi dengan wajah penuh penyesalan?
Post a Comment